Minggu, 25 Desember 2011

Budaya Mark- Up Proposal Mengakar

Catatan by: Sartana Nasution

Budaya pengajuan proposal telah biasa dilakukan, sehingga perlu juga disadari disekitar kehidupan kita ini budaya KKN telah mengakar. Tindak KKN tidak hanya dikuasai oleh orang-orang besar yang telah ahli di bidangnya. Namun ternyata, masyarakat kecil, bahkan mahasiswa, pelajar SMP, juga bisa menerapkan KKN.

Sebagai contoh kecil, mark up pada pembuatan proposal, dan laporan pertanggungjawaban dana lainnya sudah biasa kita mendengarnya. Mulai dari pelajar SMP membuat laporan keuangan yang nilainya dilebihkan. Dengan berbagai tujuan, seperti agar mendapatkan uang lebih dari kebutuhan, atau seandainya diberi uang lebih sedikit dari lembaga yang mereka mintai dana, itu nilainya masih di atas kebutuhan.

Ironisnya, sejumlah kalangan kerap menyuarakan masalah pemberantasan KKN, juga sering terlibat dalam pengajuan prosal ke sejumlah instansi. Mereka juga menyadari ketika mengajukan prosal permintaan mereka tidak sepenuhnya diberikan, misalnya, saat pencairan dana bantuan sosial dalam pertanggungjawaban dibuat 100 persen, tetapi yang sampai ketangan mereka hanya  antar 30 sampai 40 persen, sedangkan sisanya nyangkut ditangan oknum tertentu. Mereka yang menyeruakan pemberantasan korupsi juga merasa nyaman,  dengan situasi ini.

Disini sebenarnya saya kurang mengerti kenapa harus dilakukan mark up. Yang tampaknya semuanya mengisyaratkan bahwa mark up itu penting. Namun yang saya lihat, itu merupakan kebohongan dalam penyampaian nilai. Kalau mungkin lembaga yang kita mintai dana sering mengurangi dari apa yang kita tulis di proposal, itu mungkin karena lembaga tersebut juga mengetahui adanya permintaan dana yang berlebihan dari kebutuhan yang sesugguhnya. Ketakutan dari dua pihak ini juga yang mengakibatkan budaya mark up terus berjalan lancar.

Pernah saya meliput persoalan pengajuan proposan salah satu organisasi mahasiswa yang komlain. Karena menurut mahasiswa terjadi pemotongan yang dianggap cukup besar tergahadap realisasi proposal yang mereka ajukan.  Persoalanya, pertanggungjawaban realiasasi dibuat oknum pejabat pemerintah daerah 100 persen, sedangkan yang diterima kalangan mahasiswa  itu hanya sekitar 60 persen. Artinya, 40 persen  tidak diberikan kepada mahasiswa.

Akhirnya mahasiswa melakukan aksi demontrasi untuk menyoroti kejanggalan ini. Padahal perlu diketahui, proposal yang diajukan mahasiswa juga  tidak sepenuhnya  sesuai dengan  kebutuhan dana yang sebenarnya alias sudah di mark up dari jumlah sesungguhnya.

Demikian sedikit pandangan saya yang menimbulkan  keresahan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Mohon maaf bila ada yang tersinggung atau tersakiti dengan kata-kata saya. Saya juga manusia yang penuh kesalahan dan kesilafan.(*)

Profesi Wartawan Bukan "Gagah-Gagahan"

Ada sebahagian kecil masyarakat beranggapan menjadi wartawan itu, bergengsi karena dapat masuk kemana-mana, sepeti bertemu pejabat dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang menyalahgunakannya untuk menakut-nakuti pejabat. Inilah yg dapat merusak profesi wartawan dimata masyarakat.
Contoh seperti ini marak ditemukan di daerah. Motifnya macam-macam. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan makna dari jurnalisme. Sebab, profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan” dan menakut-nakuti sejumlah pejabat, maupun sebagai sarana untuk dapat memeras kalangan pejabat.

Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Namun di Indonesia tampaknya untuk mencapai struktur pilar keempat itu tampaknya masih sulit dapat tercapai.

Untuk dapt menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (keterampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak ogah- ogahan. Jika tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.
Tapi, profesional saja tidaklah cukup, mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri sebagai perpanjangan tangan dari aspirasi publik, karena wartawan juga harus bertanggungjawab kepada publik. Jika wartawan tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, maka wartawan tersebut sudah melenceng dari profesi wartawan yang sesungguhnya.

Bill kovach dan Tom Rosenstiel sudah lama menghawatirkan independensi seorang jurnalis. Kedua tokoh jurnalis yang terkenal di USA ini, menyebutkan, seorang wartawan harus memiliki kewajiban kepada kebenaran dan loyalitas  pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Kemudian salah satu yang terpenting tujuan utama jurnalisme itu adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Namun kenyataannya, kondisi jurnalisme itu sepertinya mulai bergeser karena ulah sebahagian oknum wartawan itu sendiri yang tidak taat menjalankan etika jurnalisme sesuai konsep dasar serta elemen jurnalisme.

Malah ada oknum wartawan menjadikan profesi jurnalisme itu menjadi tameng untuk memperoleh sesuatu. Ada pula yang kerap merasa hebat sehingga tak segan-segan membentak-bentak narasumber ketika konfirmasi, sehingga dapat membuat penilaian jelek terhadap wartawan yang  benar-benar menjalankan profesinya dengan baik.

Padahal sekarang sudah saatnya menjadi jurnalisme yang wise, bukan merasa hebat ditengah-tengah masyarakat. Karena ada pula hanya bermodalkan kartu pers, sudah menganggap dirinya hebat dalam menjalankan profesi  wartawan. Gayanya cukup beragam, ada yang hebat hanya bertanya-tanya, ada yang hanya selalu muncul ketika acara seremonial, tapi beritanya tidak muncul. Kalaupun beritanya terbit tak sehebat ketika dia melakukan konfirmasi sebelumnya yang terlihat banyak melontarkan pertanyaanya kepada narasumbernya.

Ironisnya, oknum wartawan ini pula yang dianggap hebat oleh sebahagian pejabat di daerah. Bukan berdasarkan  hasil tulisan dan reportase yang baik yang ditulis oleh sejumlah wartawan yang dinilai sebahagian kalangan. Hahahahahahahahah...... (sartana nasution)

Pemerintah Daerah Perlu Menyediakan Taman Kota

Taman kota tidak saja berarti sebagai paru-parunya kota , tetapi lebih daripada itu. Keberadaan taman kota di Rantauprapat dapt menjadi sangat penting bangi masyarakat, malahan bisa dianggap sebagai kebutuhan mutlak bagi penduduknya untuk menghilangkan kepenatan karena aktifitas sehari-hari.

Meskipun belakangan ini pemerintah daerah di Rantauprapat sudah memulai pembangunan  pot bunga disejumlah pembatas jalan, taman kota  kesannya belum   tertata rapi. Bahkan sama sekali belum ditemukan ada taman yang menjadi lokasi bermain bagi warga disana, kecuali masih mengandalkan Lapangan IKa BIna Rantauprapat. Lokasi inipun masih belum ditata rapi oleh instansi terkait. Kalaupun ada taman-taman ukuran kecil boleh dikatakan perawatannya kurang diperhatikan,  selain gersang  juga belum dapat membuat pemadangan indah karena ditumbuhi bunga-bunga yang berwarna warni.
Tak hanya itu, pagar-pagar yang mengelilingi taman ataupaun  seperti yang terdapat dipersimpangan Enam dan Lapangan Ika Bina banyak yang sudah patah. Hal yang sama juga ditemukan di taman kota yang berada di Tugu Adipura Rantauparapat.

Sebenarnya, tanpa adanya taman atau ruangan terbuka, bisa dibayangkan betapa gerah atau kering kehidupan sehari-hari dihabiskan di dalam rumah  yang berbenteng tembok. Tanpa taman, tanpa halaman anak-anak balita, juga remaja akan kehilangan masa kanak-kananya, masa yang penuh dengan keinginan bergerak, berlari dan bermain tidak lagi mereka peroleh karena pemerintah tidak menyediakan lokasi alternative untuk warganya.
Juga bagi kita sekalian orang dewasa dan orang lanjut usia memerlukan tempat atau ruangan terbuka kapan saja. Tempat luas, tempat yang aman jauh dari hiruk-pikuk lalulintas dan rindang sejuk karena pohon besar dan nyaman karena penuh warna bunga beraneka ragam. Hal inilah yang belum ditemukan di Kota Rantauprapat, mungkin karena terabaikan oleh pemerintahnya. Padahal diawal pemerintahan pasangan Bupati Tigor Suhari Pane kerap mengungkapkan mereka akn memprioritaskan pasilitas umum. Namun entah mana yang mereka sebutkan hingga kini warga masih belum menemukan fasilitas umum yang baik.

Kota Rantauprapat agaknya salah satu kota yang belum berhasil  menata kotanya dengan menyediakan banyak taman di seluruh bagian kotanya. Kalau pun ada beberapa taman berukuran kecil yang berada di pinggir jalan di Rantauprapat masih jauh kurang mendapat perhatian dan pemeliharaan yang cukup baik sehingga, warga tidak dapat menikmati kenyamanan ketika memandang taman tersebut.

Tak jarang pot bunga yang berada didalam taman itu sendiri pun kerap ditemukan tidak ditandami bunga untuk memperindah kondisi taman. Entah kenapa pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu kurang memperhatikan fasilitas umum seperti keberadaan taman untuk dinikmati warganya sebagai tempat bermain. Kebijakan pemerintah  dalam mendayagunakan taman kota sebagai ruang publik masih jauh dari keinginan. Taman kota sungguh tidak mendapat perhatian serius dan cermat. Kebersihan, keindahan dan kenyamanan menjadi satu kesatuan yang kompak tidak ditemukan di kota Rantauprapat.

Perlakuan demikian agaknya tidak sesuai dengan keinginan masyarakatnya untuk meningkatkan kwalitas hidup manusiawi penduduknya. Semua fasilitas yang tersedia tidak saja bersifat memberikan kesenangan batin tetapi juga memperkaya imajinasi bagi mereka yang dapat bermain ditaman. Sikap demikian nampak sepele tetapi sesungguhnya sangat berarti bagi perkemabangan jiwa manusia.

Kebersihan taman seharusnya bersih dari pengunjung, artinya tidak ada kesempatan bagi siapapun untuk tinggal 'nginap' atau tidur di dalam taman. Namun di persimpangan Enam Kota Rantauprapat  pernah ada seseorang lelaki tua tinggal disana tepatnya dibawah tugu perjuangan tersebut. Sedangkan sepeda miliknya ikut dinaikkan keteras tugu yang tingginya mencapai 1,5 meter dari permukaan tanah.

Pemandangan  ini beberapa waktu lalu sempat menjadi perhatian masyarakat yang melintas. Sebab meskipun Kabupaten Labuhanbatu merupakan petro dolarnya SUMUT, masih banyak ditemukan berkeliaran gelandangan dan pengemis di inti kota. Mudah-mudahan kedepan pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas umum seperti taman kota bagi masyakat Kota Rantauprapat.  (sartana nasution)

Jumat, 12 Agustus 2011

Kantor Dekranasda Kabupaten Labuhanbatu Terabaikan


Kantor Dekranasda Kabupaten Labuhanbatu Terabaikan


Gedung  Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Labuhanbatu terabaikan. Padahal  seharusnya menjadi wadah para perajin daerah untuk mempromosikan hasil kerajianan mereka kepada pembeli (buyers) baik di   daerah maupun dari luar kota, bahkan hingga dapat dipromosikan ke tingkat mancanegara.
Harapan ini tampaknya tidak akan ditemui di Kabupaten Labuhanbatu, karena tidak adanya perhatian pemerintah setempat melalui  Ketua Dekranas Labuhanbatu Fitra Laila Tigor P Siregar yang juga istri Bupati Labuhanbatu  Tigor Panusunan Siregar.
Sejak suaminya yang memiliki visi misi perubahan itu menjabat bupati, sudah hamper berjalan 10 bulan, Fitra Laila secara otomatis mengemban amanah  sebagai Pembina Dekranasda. Namun, perubahan untuk membenahi dan membentuk pengurus Dekranasda agar dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik belum tampak hingga saat ini. Terutama berkaitan dengan hal-hal tugas pokok Dekranasda itu sendiri. Pasalanya, sebagai tanda-tanda promosi produk hasil kerajinan itu  tidak ditemukan di kantor Dekranasda  Kabupaten Labuhanbatu Jalan HM Said, Kelurahan Sigambal Kecamatan Rantau Selatan.
Sungguh ironis, sarana yang seharusnya menjadi ajang pomosi bagi perajian di daerah ini diabaikan begitu saja.  Tidak adanya perhatian pemerintah daerah  melalui istri bupati dapat dilihat secara langsung dikantor Dekranas Kabupaten Labuhanbatu. Disana tidak ditemukan sama sekali sebagai tanda-tanda adanya hasil kerajinan daerah dan pembinaan terhadap pengerajin. Yang tampak hanya sebuah bangunan berukuran besar dalam kondisi  lapuk  seperti terlantar karena kondisinya kosong.
Sangat disayangkan bila sebuah infrastruktur sampai tak termanfaatkan. perasaan miris langsung hinggap di hati saat memperhatikan kondisi   Dekranasda  Kabupaten Labuhanbatu. Kawasan yang seharusnya menjadi pusat aktivitas para perajin di di Labuhanbatu itu, kini kondisinya sangat memrihatinkan. Kantor Dekranasda tersebut,  tak terawat. Cat dinding gedung yang tidak lagi dipoles entah sejak kapan, menampilkan kesan kumuh. Tidak hanya itu,  semen menuju bangunan utama juga sudah tampak  hancur. Di bagian halaman kantor itu terlihat ditumbuhi rumput liar yang sudah tinggi, sedangkan dibagian belakang dijadikan sebagai tempat buangan sampah. Akibatnya, areal itu terlihat semakin tak karuan dan tak pantas menjadi kantor ajang promosi bagi pemerintah daerah.
Mungkin  saja, istri bupati belum mengetahui fungsi Dekranasda yang dapat menjadi lembaga mitra kerja pemerintah daerah.  Seharusnya, peran dan fungsinya yang strategis, Dekranasda hendaknya dapat membantu pemerintah daearah dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.   Karena wadah ini   bagi para perajin daerah dan pelaku bisnis yang  anggotanya kelompok usaha mikro, kecil dan menengah dapat mengembangkan potensi dan hasil karyanya sehingga memiliki nilai jual tinggi. Maka itu,  Dekranasda  dituntut melakukan pembinaan bagi anggota dan kelompok-kelompok usaha dibawah naungannya ikut serta mempromosikan dan  memasarkan hasil karya asli daerah pada masyarakat luas.
Kesan inilah membuktikan bahwa istri bupati tidak memihak kepada ekonomi kerakyatan, padahal potensi kerajianan sangat banyak di daerah ini mulai dari kain tenunan, kerupuk nenas,  gerabah bahkan  ada pandai besi yang mampu meningkat pendapatan asli daerah (PAD) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat ekonomi menegah.
Bupati Tigor pun diketahui belum pernah meminta para pengurus Dekranasda melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik untuk melakukan pembinaan dan pengembangan pada  anggota Dekranasda yang turut mensukseskan pembangunan daerah.  Hal ini terbukti tidak oftimalnya, pengurus Dekranasda   dapat dilihat  tidak menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsi maasing-masing, sesuai tujuan utama Dekranasda yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggali dan mengembangkan serta melestarikan warisan budaya bangsa belum teralisasai  dengan baik.  Sebab, kantornya sendiri seperti gedung terlantar. Kondisi tersebut jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan Pemkab Labuhanbatu, khususnya pengurus Dekrasnasda.
Penjaga Gedung Dekranasda Kabupaten Labuhanbatu, Ainun, 53 mengungkapkan, dia bersama suaminya sudah sejak 6 tahun lalu adalah penjaga kantor itu,  namun sejak meninggalnya suaminya sekitar 3 tahun lalu, dialah sebagai penerus untuk menjaga asset pemerintah daerah ini. Tetapi belakangan, dirinya tidak pernah lagi menerima honor sebagai penjaga kantor Dekranasda tersebut. Padahal biasanya dia menerima honor sebesar Rp600 ribu.
“belakangan ini tak ada perhatian  pemerintah  sama kantor Dekranasda ini. Kegiatanpun tidak ada disini, kalau sekiatr 2 -3 tahun lalu, ada disini cangkang sawit. Orang Italia pun sering dating kemari. Tapi sekarang tak ada apa-apa lagi, lihat ini,” bebernya.
Menurutnya, untuk menyemprot rerumputan yang ada hingga setinggi pinggang orang dewasa disekitar kantor Dekranasda itu, dia terpaksa mengeluarkan uangnya sendiri. Maka itu dia berharap ada perhatian pemerintah untuk memfungsikan kantor tersebut. Selain itu, dia juga mengatakan, sejak terpilihnya Bupati Tigor sebagai bupati, istrinya belum pernah berkunjung ke lokasi tersebut. Lain halanya dengan pemerintahan sebelumnya, istri bupati itu  pernah berkunjung  ke kantor Dekranasda.
            Kepala Dinas Perindustrian, Perdangangan dan Koperasi (Kadis Perindagkop) Borkat Pene mengakuia adanya potensi hasil kerajinan daripada pengerajin yang tersebar di Labuhanbatu. Namun sayangnya pihaknya belum menginventarisasi kendala yang dihadapi oleh perajin. 
            “Rencana kita akan menginventarisasikan para pengerajin, nanti apakah kendalanya kita bicarakan, kalau memang uang masalahnya, nanti kita fasilitasi dengan dinas perdangang,” katanya.
            Terkait dengan kondisi Dekranasda di Kabupaten Labuhanbatu, Borkat Pane  mengakui pihaknya sudah menyampaikan kepada istri bupati sebanyak 3 kali di Rumah Dinas Pendopo. Tetapi hingga sekarang belum ada reaksi dari istri bupati tersebut.
            “Kemampuan kita hanya sebatas menyampaikan, sudah tiga kali di rumah dinas bupati kita sampaikan masalah Dekranasda, bagaimana mengaktifkan itu kembali. Memang sekarang tidak bisa hanya sebatas ngomong saja, harus ada uang untuk mengaktifkannya,” beber Borkat.
            Istri Bupati Tigor Panusunan Siregar, Fitra Laila yang dikenal  susah dikomfirmasi kalangan wartawan ini tidak bersedia berkomentar ketika dikomfirmasi terkait dengan kondisi kantor Dekranasda yang terabaikan itu. Pesan singkat yang dikirimkan tidak mendapat jawaban, begitu juga dengan telephon yang masuk tidak dijawab.  (sartana nasution)

Rabu, 06 Juli 2011


Pemkab Labuhanbatu Abaikan Gedung Dekranasda                                 
                               
RANTAUPRAPAT - Kondisi Gedung Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Labuhanbatu kini jauh dari kesan terawat. Padahal,dari gedung inilah diharapkan menjadi wadah para perajin daerah untuk mempromosikan hasil kerajianan mereka kepada pembeli (buyers) baik di dalam daerah maupun dari luar kota,bahkan hingga dapat dipromosikanke tingkatmancanegara.

Perasaan miris langsung hinggap di hati saat memperhatikan kondisi gedung.Cat dinding gedung yang tidak lagi dipoles entah sejak kapan, menampilkan kesan kumuh.Tidak hanya itu, semen menuju bangunan utama juga sudah tampak hancur.Di bagian halaman kantor itu terlihat ditumbuhi rumput liar yang sudah tinggi. Sedangkan dibagian belakang dijadikan sebagai tempat buangan sampah. Akibatnya, areal itu terlihat semakin tak karuan dan tak pantas menjadi kantor ajang promosi bagi pemerintah daerah.

Sekedar diketahui istri Bupati Tigor Panusunan Siregar yakni Fitra Laila Tigor P Siregar dipercaya sebagai Ketua Dekranasda Labuhanbatu Penjaga Gedung Dekranasda Kabupaten Labuhanbatu, Ainun,53 mengungkapkan,dia bersama suaminya sudah sejak enam tahun lalu bertugas sebagai penjaga gedung itu.

Namun sejak meninggal suaminya tiga tahun lalu,dialah yang melanjutkan dengan honor sebesar Rp600.000 per bulan. Ironisnya, dia tidak lagi menerima honor tersebut. bahkan untuk membersihkan rumput disekitar gedung milik pemkab itu,  Ainun terpaksa mengeluarkan uang pribadinya untuk membeli racun rumput. “Belakangan ini tak ada perhatian pemerintah sama kantor Dekranasda ini. Kegiatanpun tidak ada disini, kalau sekitar 2 -3 tahun lalu, ada disini cangkang sawit. Orang Italia pun sering datang.

Tapi sekarang tak ada apa-apa lagi,lihat ini,”bebernya. Kepala Dinas Perindustrian, Perdangangan dan Koperasi (Kadis Perindagkop) Borkat Pene mengakui adanya potensi hasil kerajinan daripada pengerajin yang tersebar di Labuhanbatu.Namun sayangnya pihaknya belum menginventarisasi kendala yang dihadapi oleh perajin. “Rencana kita akan menginventarisasikan para pengerajin, nanti apakah kendalanya kita bicarakan, kalau memang uang masalahnya, nanti kita fasilitasi dengan dinas perdagangan,” katanya.

Terkait dengan kondisi Dekranasda di Kabupaten Labuhanbatu, Borkat Pane mengakui pihaknya sudah menyampaikan kepada Ketua Dekranasda Labuhanbatu Fitra Laila Tigor P Siregar sebanyak tiga kali Hal itu disampaikan di rumah dinas pendopo. Tetapi hingga sekarang belum ada reaksi dari istri bupati tersebut.

“Kemampuan kita hanya sebatas menyampaikan, sudah tiga kali di rumah dinas bupati kita sampaikan masalah Dekranasda, bagaimana mengaktifkan itu kembali.Memang sekarang tidak bisa hanya sebatas ngomong saja, harus ada uang untuk mengaktifkannya,” beber Borkat. sartana nasution

                                                                                                           

                                         

Kamis, 17 Maret 2011

Diduga Gelapkan Dana Sertifikasi Guru Rp2,9 M, Bendahara Disdik Labuhanbatu Ditangkap


PDF Print
Thursday, 17 March 2011
RANTAUAPRAPAT (SI) - Polisi Resor (Polres) Labuhanbatu berhasil meringkus Bendahara Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhabatu Halomoan alias Lomo, diduga  menggelapkan dana sertifikasi untuk 233 guru senilai R2,9 miliar.


Halomoan H ditangkap di kediamannya di Perumahan Wira Asri II Kampung Baru Kecamatan Rantau Selatan, Labuhanbatu, Selasa (15/3) sekira pukul 20.30 WIB. Kapolres Labuhanbatu AKBP Robert Kennedy SiK melalui Kasat Reskrim AKP Tito Hutauruk SiK mengatakan,penangkapan ini berdasarkan laporan pengaduan Indra Bustami. Indra adalah, perwakilan para guru-guru yang belum memperoleh dana sertifikasi.

“Dari hasil pemeriksaan, Halomoan membenarkan telah menggunakan dana sertifikasi guru sebesar Rp2,9 miliar untuk kepentingan pribadi.Padahal seharusnya dana itu untuk 233 orang guru,”kata Tito. Sebelum penangkapan dilakukan, petugas terlebih dahulu melakukan pengintaian di kediaman tersangka. Saat pulang Halomoan menuju rumahnya, polisi langsung meringkusnya. Polisi beberapa hari lalu juga sudah memeriksa para saksi dari pihak guru-guru yang belum menerima tunjangan dana sertifikasi sebanyak lima orang. Yaitu, Indra Bustami, Soim, Ubat Panjaitan, Raden Beresman Sianturi dan Mahyuzar.

Sedangkan saksi yang telah dilakukan pemeriksaan dari Pihak Dinas Pendidikan Labuhanbatu yakni Adi Susanto Purba, Jai Rohani Situmorang alias Hani,Kari,Marnaek Siregar, Amir Bahrum. Sementara dan dari Pemkab Labuhanbatu Edison Siringo-Ringo (bendahara umum daerah). “Halomoan diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU Nomor 20/ 2001 tentang Pemberantasan Korupsi,”tegasnya. Terpisah,dalam satu kesempatan Kadis Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu Iskandar ketika dikonfirmasi terkait persoalan dana sertifikasi ini mengatakan,dirinya mengetahui masalah ini setelah terlebih dahulu kedatangan para guru-guru yang belum memperoleh dana sertifikasi.Mereka, kata dia,menanyakan ke dinas pendidikan setempat.

“Sejak Oktober 2010 lalu saya sudah melimpahkan tugas kepada sekretaris dinas pendidikan. Inipun sepegetahuan bupati. karena waktu itu saya berangkat menunaikan ibadah haji di Arab Saudi,”katanya. Dia menambahkan, secara otomastis wewenang dan tanggungjawab dialihkan kepada sekretaris dan sekaligus sekretaris menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk mencairkan dana dinas pendidikan di bendahara pemkab. “Untuk KPA,tugas sekretaris berakhir Desember 2010, jadi penarikan dana sertifikasi itu adalah sekretaris dan bendahara (Halomoan).

Selanjutnya merekalah yang merealisasaikan dana itu kepada guru-guru yang belum memperoleh dana sertifikasi. Itupun saya tanyakan kepada mereka. katanya tidak ada masalah dengan dana tunjangan sertifikasi,” ungkapnya. Sejak peristiwa ini mencuat, Halomoan t tiba-tiba menghilang dan tidak pernah lagi masuk kantor di Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu.

Akibatnya, semakin menimbulkan keresahan para guru-guru yang belum memperoleh dana sertifikasi.Mereka akhirnya melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Labuhanbatu. sartana nasution

Senin, 07 Maret 2011

Dana Reses Tidak Seusai Peruntukan





RANTAUPRAPAT (SI)
Dana yang digunakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Labuhanbatu ketika menggelar reses beberapa waktu lalu diduga tidak sesuai peruntukan.
Pasalnya, reses dilakukan secara kelompok, tetapi dana surat pertanggungjawaban (SPj) yang dibayar secara perorangan.Akibatnya, dana yang dikeluarkan dari sekretariat dewan ditengarai tidak sesuai peruntukannya.
Berdasar informasi yang dihimpun SINDO di Sekretariat DPRD Labuhanbatu, reses yang dilakukan sejumlah anggota Dewan tersebut tidak sesuai petunjuk pelaksanaan (juklak) reses.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Rantau Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, 12 Oktober lalu. Reses anggota DPRD di Kantor Kecamatan Rantau Selatan itu dilakukan secara bersamaan (kolektif). Padahal, untuk menyerap aspirasi konstituen, reses itu dilaksanakan di kelurahan/desa. Tidak hanya itu, dari belasan anggota DPRD yang melakukan reses tersebut,mereka hanya mampu menghadirkan 32 warga (sesuai absen).Itu pun banyak di antaranya berstatus kepala lingkungan (kepling).
Selain itu, uraian peruntukan biaya yang dikeluarkan sekretariat diduga tidak direalisasikan sesuai peruntukannya.Sebab,reses itu dilaksanakan di aula kecamatan sehingga tidak perlu lagi menyewa sound system/genset dan biaya sewa tenda, bahkan termasuk makanan karena diduga sudah ditanggung pihak kecamatan.
Seorang sumber yang tidak bersedia namanya di DPRD mengungkapkan, uraian dana yang dikeluarkan sekretariat untuk setiap seorang anggota DPRD, termasuk biaya makan/snack untuk 50 orang sekitar Rp1.625.000, biaya sewa kursi untuk 50 orang Rp250.000, biaya sewa sound system/genset sebesar Rp500.000, dan sewa tenda Rp200.000,sehingga jumlah untuk sehari reses, anggota DPRD memperoleh Rp2.575.000 untuk direalisasikan sebagai biaya reses.
Kalau dijumlahkan sebanyak enam hari sesuai jadwal anggota dewan, satu anggota dewan memperoleh sekitar Rp15.450.000. Namun, dari jumlah tersebut dipotong lagi di sekretariat. “Namun, dari jumlah Rp15.450.000 itu tidak seluruhnya sampai ke tangan anggota DPRD, itu dipotong Rp3.450.000 per orang. Jadi, anggota Dewan memperoleh Rp13 juta. Pemotongan itu infonya untuk biaya pengamanan,” papar sumber tersebut.
Kepala Keuangan Sekretariat DPRD Kabupaten Labuhanbatu Zulkifli ketika dikonfirmasi atas persoalan ini menyatakan hanya sebagai pekerja di DPRD.Dia pun meminta sebaiknya persoalan itu ditanyakan kepada pengguna anggaran, yakni Sekretaris DPRD.Namun, dia tidak menampik jumlah uang yang dikumpul dari 40 anggota DPRD tersebut sebanyak Rp98.000.000.
“Uang itu bukanlah sebagai potongan, melainkan dana pendamping surat pertanggungjawaban (SPj) karena anggota DPRD tidak mau uang resesnya dipotong. Tanya kepada Sekwanlah, itu kesepakatan orang itu (DPRD).Kami serahkan itu semua uangnya,untuk apalah uang itu.Hanya mungkin ditinggalkan orang itu untuk SPj-nya. Mungkin orang itu minta bantuan membuat pertanggungjawaban. Maka itu,saya bilang Sekwan yang ditanya,”ungkapnya.
Sementara itu,Sekretaris DPRD Labuhanbatu Fuad Siregar memaparkan uraian dan jumlah dana yang diterima anggota DPRD.Dia mengakui anggota DPRD melakukan reses berkelompok, tetapi SPj yang dibayar sekretariat secara perorangan.Sebab,kalau reses yang dilakukan anggota DPRD dengan cara kelompok,sekretariat me-nyiapkan fasilitasnya.
Namun, kali ini tidak melibat-kan sekretariat untuk memper-siapkannya. “SPj DPRD yang dibayarkan reses itu perorangan, bukan kelompok. Harusnya dikembalikan orang itu uangnya kalau mereka tidak melakukan reses secara perorangan. Ini memang mereka yang menyiapkan semua. Kami hanya menerima SPj. Kalaupun ada melibatkan staf sekretariat, tidak ada perintah dari kami,”ungkap-nya.
Wakil Ketua DPRD Labuhanbatu Sawal Efendi Hasibuan tidak dapat memberikan keterangan terkait pemotongan dana reses ini.
“Enggak tahu saya.Dari mana tahu itu ya?”tuturnya. Saat ditemui di kantornya, Senin (26/10) siang, Sawal juga tidak dapat memberikan komentar meski sedikit tampak kebingungan saat persoalan ini ditanyakan.
“Saya tanyakan dulu nanti sama ketua ya,” ujarnya. Beberapa anggota DPRD yang ditemui SINDOjuga tidak bersedia memberikan komentar atas persoalan ini. Malah, mereka meminta agar namanya tidak ditulis di surat kabar. (sartana nasution)