Ada sebahagian kecil masyarakat beranggapan menjadi wartawan itu, bergengsi karena dapat masuk kemana-mana, sepeti bertemu pejabat dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang menyalahgunakannya untuk menakut-nakuti pejabat. Inilah yg dapat merusak profesi wartawan dimata masyarakat.
Contoh seperti ini marak ditemukan di daerah. Motifnya macam-macam. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan makna dari jurnalisme. Sebab, profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan” dan menakut-nakuti sejumlah pejabat, maupun sebagai sarana untuk dapat memeras kalangan pejabat.
Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Namun di Indonesia tampaknya untuk mencapai struktur pilar keempat itu tampaknya masih sulit dapat tercapai.
Untuk dapt menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (keterampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak ogah- ogahan. Jika tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.
Tapi, profesional saja tidaklah cukup, mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri sebagai perpanjangan tangan dari aspirasi publik, karena wartawan juga harus bertanggungjawab kepada publik. Jika wartawan tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, maka wartawan tersebut sudah melenceng dari profesi wartawan yang sesungguhnya.
Bill kovach dan Tom Rosenstiel sudah lama menghawatirkan independensi seorang jurnalis. Kedua tokoh jurnalis yang terkenal di USA ini, menyebutkan, seorang wartawan harus memiliki kewajiban kepada kebenaran dan loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Kemudian salah satu yang terpenting tujuan utama jurnalisme itu adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Namun kenyataannya, kondisi jurnalisme itu sepertinya mulai bergeser karena ulah sebahagian oknum wartawan itu sendiri yang tidak taat menjalankan etika jurnalisme sesuai konsep dasar serta elemen jurnalisme.
Malah ada oknum wartawan menjadikan profesi jurnalisme itu menjadi tameng untuk memperoleh sesuatu. Ada pula yang kerap merasa hebat sehingga tak segan-segan membentak-bentak narasumber ketika konfirmasi, sehingga dapat membuat penilaian jelek terhadap wartawan yang benar-benar menjalankan profesinya dengan baik.
Padahal sekarang sudah saatnya menjadi jurnalisme yang wise, bukan merasa hebat ditengah-tengah masyarakat. Karena ada pula hanya bermodalkan kartu pers, sudah menganggap dirinya hebat dalam menjalankan profesi wartawan. Gayanya cukup beragam, ada yang hebat hanya bertanya-tanya, ada yang hanya selalu muncul ketika acara seremonial, tapi beritanya tidak muncul. Kalaupun beritanya terbit tak sehebat ketika dia melakukan konfirmasi sebelumnya yang terlihat banyak melontarkan pertanyaanya kepada narasumbernya.
Ironisnya, oknum wartawan ini pula yang dianggap hebat oleh sebahagian pejabat di daerah. Bukan berdasarkan hasil tulisan dan reportase yang baik yang ditulis oleh sejumlah wartawan yang dinilai sebahagian kalangan. Hahahahahahahahah...... (sartana nasution)
Contoh seperti ini marak ditemukan di daerah. Motifnya macam-macam. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan makna dari jurnalisme. Sebab, profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan” dan menakut-nakuti sejumlah pejabat, maupun sebagai sarana untuk dapat memeras kalangan pejabat.
Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Namun di Indonesia tampaknya untuk mencapai struktur pilar keempat itu tampaknya masih sulit dapat tercapai.
Untuk dapt menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (keterampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak ogah- ogahan. Jika tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.
Tapi, profesional saja tidaklah cukup, mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri sebagai perpanjangan tangan dari aspirasi publik, karena wartawan juga harus bertanggungjawab kepada publik. Jika wartawan tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, maka wartawan tersebut sudah melenceng dari profesi wartawan yang sesungguhnya.
Bill kovach dan Tom Rosenstiel sudah lama menghawatirkan independensi seorang jurnalis. Kedua tokoh jurnalis yang terkenal di USA ini, menyebutkan, seorang wartawan harus memiliki kewajiban kepada kebenaran dan loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Kemudian salah satu yang terpenting tujuan utama jurnalisme itu adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Namun kenyataannya, kondisi jurnalisme itu sepertinya mulai bergeser karena ulah sebahagian oknum wartawan itu sendiri yang tidak taat menjalankan etika jurnalisme sesuai konsep dasar serta elemen jurnalisme.
Malah ada oknum wartawan menjadikan profesi jurnalisme itu menjadi tameng untuk memperoleh sesuatu. Ada pula yang kerap merasa hebat sehingga tak segan-segan membentak-bentak narasumber ketika konfirmasi, sehingga dapat membuat penilaian jelek terhadap wartawan yang benar-benar menjalankan profesinya dengan baik.
Padahal sekarang sudah saatnya menjadi jurnalisme yang wise, bukan merasa hebat ditengah-tengah masyarakat. Karena ada pula hanya bermodalkan kartu pers, sudah menganggap dirinya hebat dalam menjalankan profesi wartawan. Gayanya cukup beragam, ada yang hebat hanya bertanya-tanya, ada yang hanya selalu muncul ketika acara seremonial, tapi beritanya tidak muncul. Kalaupun beritanya terbit tak sehebat ketika dia melakukan konfirmasi sebelumnya yang terlihat banyak melontarkan pertanyaanya kepada narasumbernya.
Ironisnya, oknum wartawan ini pula yang dianggap hebat oleh sebahagian pejabat di daerah. Bukan berdasarkan hasil tulisan dan reportase yang baik yang ditulis oleh sejumlah wartawan yang dinilai sebahagian kalangan. Hahahahahahahahah...... (sartana nasution)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar