Minggu, 14 Juli 2013

Mesjid Raya Rantauprapat Tak Terlepas Dari Rangkaian Sejarah Kerajaan dan Penjajahan Belanda


Mesjid Raya Rantauprapat Tak Terlepas Dari Rangkaian Sejarah Kerajaan dan Penjajahan Belanda

Sejarah Mesjid Raya (Agung) Jalan Ahmad Yani Rantauprapat, tidak terlepas dari rangkaian perkembangan dari sejarah kerajaan di kawasan Labuhanbatu pada masa penjajahan Belanda. Meskipun bentuk dan gaya ornamennya tidak begitu tampak kuno, namun kalau menurut sejarahnya, pertapakan mesjid itu merupakan tanah wakap dari Kerajaan Bilah pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1930-an di Rantauprapat.
Pada masa itu, Kerajaan Bilah diberi kewenangan oleh kaum penjajah Belanda untuk melakukan pemungutan pajak (Balasting) kepada masyarakat diwilayah itu. Hal ini berkaitan dengan sikaf licik Belanda agar mereka tetap bisa membina hubungan yang harmonis dengan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Labuhanbatu Raya.
Sejalan dengan itu, pemangku Kerajaan Bilah yang cukup tersohor pada masanya, berhasil melakukan pemungutan pajak. Ia pun kemudian memiliki inisiatif untuk mendirikan sebuah mesjid sekitar tahun 1930-an sebagai tempat beribadah bagi kaum muslimin  di Kota Rantauprapat.
Konon dari sisa lebih pungutan  pajak di Labuhanbatu, pihak kerajaan menggunakannya modal awal untuk membangun empat buah mesjid sekaligus yakni, Mesjid Raya Rantauprapat,  Mesjid Kulauh Hulu, Mesjid Kota Pinang serta sebuah Mesjid Raya di daearah Pesisir Pantai, Kecamatan Labuhan Bilik.  
Keemepat mesjid ini pun memiliki ciri khas yang hampir mirip, baik ornamennya maupun bentuk kubahnya yang tidak jauh berbeda. Meski perkembangan pembangunan begitu pesatnya zaman sekarang,  Mesjid Raya Rantauprapat  masih tetap mempertahankan keaslian bangunannya, seperti yang terlihat pada kubah utamanya yang masih terbuat dari kayu yang kokoh, sekaligus menjadi langit-langitnya.
Mesjid yang berada dipinggir jalan raya itu  sudah berusia sekitar 80-an tahun lamanya, namun kondisinya masih tetap menonjolkan  bagunan tua yang menghiasai mesjid tersebut . Hanya saja ukurannya sedikit di perbesar dari ukuran aslinya.
Selain itu, hiasan-hiasan kecil pada temboknya masih jelas terlihat sekaligus mengingatkan kita kepada rumah-rumah kerajaan melayu yang biasa ditemui di kawasan Sumatera Utara. Artinya, raja yang membangun mesjid tersebut tidak melepaskan ciri khas Melayu yang cukup tersohor pada zaman itu.
Sayangnya, untuk mengetahui  siapa nama Raja Kerajaan Bilah pada masa pembangunan mesjid itu belum dapat diketahui secara pasti.   Misalnya saja,  Departemen Agama di Labuhanbatu sebagai pengelola mesjid tidak memiliki data apapun tentang mesjid yang dianggap memeiliki sejarah  ini.
“Kita tidak pernah dilaporkan pihak mesjid tentang pendidriannya. Data tentang mesjid itupun tidak kita miliki kecuali dari cerita orang tua,” ujar salah seorang pegawai Depag  ketika wartawan melakukan pencarian data mesjid tersebut. 
Sementara itu, bentuk kubah mesjid ini  terdiri dari tiga buah. Satu terdapat sebagai menara utama yang paling tinggi yang posisinya berada dibagian belakang. Sedangkan dua lagi pada pintu menuju masuk kedalam mesjid. Selanjutnya, pada pintu pagar juga terdapat dua menara layaknya seperti mesjid Raya Al-Maksum Jalan SM Raja Medan. Simbol suku melayu masih melekat dengan dominasi warna kuning pada mesjid, meski telah terdapat warna hijau pada bagian kubahnya. 
Menurut salah seorang penasehat kenaziran mesjid, Almarhum Abdul Madjid Dalimunthe dalam satu kesempatan  mengatakan, sejak kemerdekaan Republik Indonesai, Mesjid tersebut masuk dalam pengawasan Departemen Agama, hingga kemudian nama Mesjid Raya dirubah menjadi Mesjid Agung Rantauprapat. Dalam perkebangannya, mesjid tersebut pernah  memiliki Klinik Kesehatan dan  juga Sekolah Madrasah yang berada didalam lingkungan mesjid.
“Sejak zaman Belanda nama Mesjid Raya sekitar tahun 1986 di rumah menjadi Mesjid Agung Rantauprapat,” ujar lelaki yang pernah menjadi nazir mesjid di tahun 1984 hingga 1989 ketika ditemuai dirumahnya   yang tidak jauh dari lokasi Mesjid tersebut.
Selanjutnya dikatakan Abdul Madjid, klinik yang terdapat di lokasi mesjid tersebut, dikelola oleh dua dokter, yaitu dokter umum dan satu orang dokter gigi.  Dari pendapatan yang diperoleh kedua dokter itu setiap satu pasien  akan meberikan sumbangan untuk mesjid sebesar Rp1000. Namun seiring dengan pelayanan Rumah Sakit Daerah (RSUD) Rantauprapat yang memberikan pelayanan Jamkesmas dan Jamkesda klinik dilingkungan mesjid akhirnya ditutup.
Sementara itu, selama bulan puasa, rutinitas kegiatan ibadah dilasakanakan sebagaimana bisanya dengan mesjid lainnya. Pengajian (tadaruz) setiap malam berkumandang di Mesjid Raya ini begitu juga dengan kegiatan ibadah sholat Taraweh, maupun sholat lima waktu, selalu tampak ramai disana. Begitu juga siang hari, setelah sholat Zhuhur banyak warga yang istrahat sambil menunggu datangnya waktu sholat Ashar.
Betapa banyak keutamaan bulan puasa ini membuat Mesjid Raya Rantauprapat selalu ramai di kunjungi jemaah. Halaman mesjid yang luas menjadikan kenyaman tersendiri bagi orang yang  melintas di Jalan Lintas Sumatera untuk istrahat sekaligus melaksankan sholat di Mesjid itu. Sebab halamannya juga cukup luas membuat pemilik kenderaan merasa nyaman  karena  tidak sulit untuk memarkirkan kenderaan mereka.
Bahkan bagi sebahagian warga yang melakukan perjalanan jauh misalnya dari Medan menuju Sidempuan atau Jakarta, Mesjid  Raya Rantauprapat menjadi tempat pilihan untuk lokasi istrahat dan sekaligus dapat melaksanakan ibadah sholat.
Salah seorang warga Akhyar, 28 mengatakan,  dirinya lebih menyukai sholat di Mesjid Raya Rantauprapat, karena lokasinya berada persisi di jalan Lintas Sumatera. Selain itu kondisi airnya  sangat baik karena jarang terjadi macet dan tidak seperti air di Mesjid yang dikelola oleh pemerintah daerah di kawasan Ujung Bandar. (sartana nasution)



Teks Photo: Mesjid Raya Rantauprapat tampak ornamennya masih terjaga seperti pada zaman kerajaan di masa lalu. Bangunan Mesjid itu awalnya didanai dari sebahagian sisa kutipan pajak di zaman penjajahan Belanda.