Minggu, 25 Desember 2011

Budaya Mark- Up Proposal Mengakar

Catatan by: Sartana Nasution

Budaya pengajuan proposal telah biasa dilakukan, sehingga perlu juga disadari disekitar kehidupan kita ini budaya KKN telah mengakar. Tindak KKN tidak hanya dikuasai oleh orang-orang besar yang telah ahli di bidangnya. Namun ternyata, masyarakat kecil, bahkan mahasiswa, pelajar SMP, juga bisa menerapkan KKN.

Sebagai contoh kecil, mark up pada pembuatan proposal, dan laporan pertanggungjawaban dana lainnya sudah biasa kita mendengarnya. Mulai dari pelajar SMP membuat laporan keuangan yang nilainya dilebihkan. Dengan berbagai tujuan, seperti agar mendapatkan uang lebih dari kebutuhan, atau seandainya diberi uang lebih sedikit dari lembaga yang mereka mintai dana, itu nilainya masih di atas kebutuhan.

Ironisnya, sejumlah kalangan kerap menyuarakan masalah pemberantasan KKN, juga sering terlibat dalam pengajuan prosal ke sejumlah instansi. Mereka juga menyadari ketika mengajukan prosal permintaan mereka tidak sepenuhnya diberikan, misalnya, saat pencairan dana bantuan sosial dalam pertanggungjawaban dibuat 100 persen, tetapi yang sampai ketangan mereka hanya  antar 30 sampai 40 persen, sedangkan sisanya nyangkut ditangan oknum tertentu. Mereka yang menyeruakan pemberantasan korupsi juga merasa nyaman,  dengan situasi ini.

Disini sebenarnya saya kurang mengerti kenapa harus dilakukan mark up. Yang tampaknya semuanya mengisyaratkan bahwa mark up itu penting. Namun yang saya lihat, itu merupakan kebohongan dalam penyampaian nilai. Kalau mungkin lembaga yang kita mintai dana sering mengurangi dari apa yang kita tulis di proposal, itu mungkin karena lembaga tersebut juga mengetahui adanya permintaan dana yang berlebihan dari kebutuhan yang sesugguhnya. Ketakutan dari dua pihak ini juga yang mengakibatkan budaya mark up terus berjalan lancar.

Pernah saya meliput persoalan pengajuan proposan salah satu organisasi mahasiswa yang komlain. Karena menurut mahasiswa terjadi pemotongan yang dianggap cukup besar tergahadap realisasi proposal yang mereka ajukan.  Persoalanya, pertanggungjawaban realiasasi dibuat oknum pejabat pemerintah daerah 100 persen, sedangkan yang diterima kalangan mahasiswa  itu hanya sekitar 60 persen. Artinya, 40 persen  tidak diberikan kepada mahasiswa.

Akhirnya mahasiswa melakukan aksi demontrasi untuk menyoroti kejanggalan ini. Padahal perlu diketahui, proposal yang diajukan mahasiswa juga  tidak sepenuhnya  sesuai dengan  kebutuhan dana yang sebenarnya alias sudah di mark up dari jumlah sesungguhnya.

Demikian sedikit pandangan saya yang menimbulkan  keresahan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Mohon maaf bila ada yang tersinggung atau tersakiti dengan kata-kata saya. Saya juga manusia yang penuh kesalahan dan kesilafan.(*)

Profesi Wartawan Bukan "Gagah-Gagahan"

Ada sebahagian kecil masyarakat beranggapan menjadi wartawan itu, bergengsi karena dapat masuk kemana-mana, sepeti bertemu pejabat dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang menyalahgunakannya untuk menakut-nakuti pejabat. Inilah yg dapat merusak profesi wartawan dimata masyarakat.
Contoh seperti ini marak ditemukan di daerah. Motifnya macam-macam. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan makna dari jurnalisme. Sebab, profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan” dan menakut-nakuti sejumlah pejabat, maupun sebagai sarana untuk dapat memeras kalangan pejabat.

Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Namun di Indonesia tampaknya untuk mencapai struktur pilar keempat itu tampaknya masih sulit dapat tercapai.

Untuk dapt menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (keterampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak ogah- ogahan. Jika tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.
Tapi, profesional saja tidaklah cukup, mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri sebagai perpanjangan tangan dari aspirasi publik, karena wartawan juga harus bertanggungjawab kepada publik. Jika wartawan tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, maka wartawan tersebut sudah melenceng dari profesi wartawan yang sesungguhnya.

Bill kovach dan Tom Rosenstiel sudah lama menghawatirkan independensi seorang jurnalis. Kedua tokoh jurnalis yang terkenal di USA ini, menyebutkan, seorang wartawan harus memiliki kewajiban kepada kebenaran dan loyalitas  pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Kemudian salah satu yang terpenting tujuan utama jurnalisme itu adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Namun kenyataannya, kondisi jurnalisme itu sepertinya mulai bergeser karena ulah sebahagian oknum wartawan itu sendiri yang tidak taat menjalankan etika jurnalisme sesuai konsep dasar serta elemen jurnalisme.

Malah ada oknum wartawan menjadikan profesi jurnalisme itu menjadi tameng untuk memperoleh sesuatu. Ada pula yang kerap merasa hebat sehingga tak segan-segan membentak-bentak narasumber ketika konfirmasi, sehingga dapat membuat penilaian jelek terhadap wartawan yang  benar-benar menjalankan profesinya dengan baik.

Padahal sekarang sudah saatnya menjadi jurnalisme yang wise, bukan merasa hebat ditengah-tengah masyarakat. Karena ada pula hanya bermodalkan kartu pers, sudah menganggap dirinya hebat dalam menjalankan profesi  wartawan. Gayanya cukup beragam, ada yang hebat hanya bertanya-tanya, ada yang hanya selalu muncul ketika acara seremonial, tapi beritanya tidak muncul. Kalaupun beritanya terbit tak sehebat ketika dia melakukan konfirmasi sebelumnya yang terlihat banyak melontarkan pertanyaanya kepada narasumbernya.

Ironisnya, oknum wartawan ini pula yang dianggap hebat oleh sebahagian pejabat di daerah. Bukan berdasarkan  hasil tulisan dan reportase yang baik yang ditulis oleh sejumlah wartawan yang dinilai sebahagian kalangan. Hahahahahahahahah...... (sartana nasution)

Pemerintah Daerah Perlu Menyediakan Taman Kota

Taman kota tidak saja berarti sebagai paru-parunya kota , tetapi lebih daripada itu. Keberadaan taman kota di Rantauprapat dapt menjadi sangat penting bangi masyarakat, malahan bisa dianggap sebagai kebutuhan mutlak bagi penduduknya untuk menghilangkan kepenatan karena aktifitas sehari-hari.

Meskipun belakangan ini pemerintah daerah di Rantauprapat sudah memulai pembangunan  pot bunga disejumlah pembatas jalan, taman kota  kesannya belum   tertata rapi. Bahkan sama sekali belum ditemukan ada taman yang menjadi lokasi bermain bagi warga disana, kecuali masih mengandalkan Lapangan IKa BIna Rantauprapat. Lokasi inipun masih belum ditata rapi oleh instansi terkait. Kalaupun ada taman-taman ukuran kecil boleh dikatakan perawatannya kurang diperhatikan,  selain gersang  juga belum dapat membuat pemadangan indah karena ditumbuhi bunga-bunga yang berwarna warni.
Tak hanya itu, pagar-pagar yang mengelilingi taman ataupaun  seperti yang terdapat dipersimpangan Enam dan Lapangan Ika Bina banyak yang sudah patah. Hal yang sama juga ditemukan di taman kota yang berada di Tugu Adipura Rantauparapat.

Sebenarnya, tanpa adanya taman atau ruangan terbuka, bisa dibayangkan betapa gerah atau kering kehidupan sehari-hari dihabiskan di dalam rumah  yang berbenteng tembok. Tanpa taman, tanpa halaman anak-anak balita, juga remaja akan kehilangan masa kanak-kananya, masa yang penuh dengan keinginan bergerak, berlari dan bermain tidak lagi mereka peroleh karena pemerintah tidak menyediakan lokasi alternative untuk warganya.
Juga bagi kita sekalian orang dewasa dan orang lanjut usia memerlukan tempat atau ruangan terbuka kapan saja. Tempat luas, tempat yang aman jauh dari hiruk-pikuk lalulintas dan rindang sejuk karena pohon besar dan nyaman karena penuh warna bunga beraneka ragam. Hal inilah yang belum ditemukan di Kota Rantauprapat, mungkin karena terabaikan oleh pemerintahnya. Padahal diawal pemerintahan pasangan Bupati Tigor Suhari Pane kerap mengungkapkan mereka akn memprioritaskan pasilitas umum. Namun entah mana yang mereka sebutkan hingga kini warga masih belum menemukan fasilitas umum yang baik.

Kota Rantauprapat agaknya salah satu kota yang belum berhasil  menata kotanya dengan menyediakan banyak taman di seluruh bagian kotanya. Kalau pun ada beberapa taman berukuran kecil yang berada di pinggir jalan di Rantauprapat masih jauh kurang mendapat perhatian dan pemeliharaan yang cukup baik sehingga, warga tidak dapat menikmati kenyamanan ketika memandang taman tersebut.

Tak jarang pot bunga yang berada didalam taman itu sendiri pun kerap ditemukan tidak ditandami bunga untuk memperindah kondisi taman. Entah kenapa pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu kurang memperhatikan fasilitas umum seperti keberadaan taman untuk dinikmati warganya sebagai tempat bermain. Kebijakan pemerintah  dalam mendayagunakan taman kota sebagai ruang publik masih jauh dari keinginan. Taman kota sungguh tidak mendapat perhatian serius dan cermat. Kebersihan, keindahan dan kenyamanan menjadi satu kesatuan yang kompak tidak ditemukan di kota Rantauprapat.

Perlakuan demikian agaknya tidak sesuai dengan keinginan masyarakatnya untuk meningkatkan kwalitas hidup manusiawi penduduknya. Semua fasilitas yang tersedia tidak saja bersifat memberikan kesenangan batin tetapi juga memperkaya imajinasi bagi mereka yang dapat bermain ditaman. Sikap demikian nampak sepele tetapi sesungguhnya sangat berarti bagi perkemabangan jiwa manusia.

Kebersihan taman seharusnya bersih dari pengunjung, artinya tidak ada kesempatan bagi siapapun untuk tinggal 'nginap' atau tidur di dalam taman. Namun di persimpangan Enam Kota Rantauprapat  pernah ada seseorang lelaki tua tinggal disana tepatnya dibawah tugu perjuangan tersebut. Sedangkan sepeda miliknya ikut dinaikkan keteras tugu yang tingginya mencapai 1,5 meter dari permukaan tanah.

Pemandangan  ini beberapa waktu lalu sempat menjadi perhatian masyarakat yang melintas. Sebab meskipun Kabupaten Labuhanbatu merupakan petro dolarnya SUMUT, masih banyak ditemukan berkeliaran gelandangan dan pengemis di inti kota. Mudah-mudahan kedepan pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas umum seperti taman kota bagi masyakat Kota Rantauprapat.  (sartana nasution)