Minggu, 30 April 2017

Cerpen: Legeda Silawan Anak Durhaka Dari Labuhanbatu




Cerpen 
Legeda Silawan Anak Durhaka Dari Labuhanbatu

SARTANA NASUTION
 
Mendengar kisah Malin Kundang tentunya akan teringat mengenai dongeng anak durhaka dari Sumatera Barat yang sangat melegenda tersebut. Ternyata di Labuhanbatu, Sumatera Utara, ada cerita mirip dengan kisah si Malin Kundang anak durhaka.
Namanya Silawan merupakan seorang anak yang memiliki karakter pekerja keras yang tega melawan ibu kandungnya sehingga, ia dikutuk menjadi batu bersama dengan sebuah perahu miliknya saat melintas di Sungai Bilah Kabupaten Labuhanbatu.
Konon kapal yang ditumpanginya diyakini sejumlah tetua kini telah menjadi batu melintang ditengah Sungai Bilah tepatnya di Kampung Tali, Kecamatan Bilah Barat. Sungai yang dahulunya mengalir lurus, akhirnya terpaksa berbelok kebagian kiri dan kanan batu yang melintang ditegah sungai itu.
Menurut Ancun Rambe (44) seorang seniman warga Kecamatan Bilah Barat, Kabupaten Labuhanbatu berdasarkan cerita leluhur pada zaman dahulu ada seorang pemuda pekerja keras bernama Silawan yang berasal dari perkampungan Sampuran. Kini daerah itu masuk kawasan Kecamatan Bilah Barat, tepatnya di bagian hulu Sungai Bilah Kabupaten Labuhanbatu, Sumut.
Kisah Silawan ini cukup terkenal di Labuhanbatu. Konon Pemuda yang lahir dari keluarga miskin ini sudah mulai berlayar sejak usianya masih tergolong belia yaitu 12 tahun. Kehidupan yang cukup keras itu pula menyebabkan dia dikenal dengan ketangguhannya melintasi Sungai Bilah dengan perahu mulai dari hulu hingga kebagian hilir di kampung Nelayan Negeri Lama. Hampir setiap hari anak semata wayang dari Sarila ini melintasi Sungai Bilah membawa barang dagangan dengan menggunakan kapal miliknya. Pelabuhan perdagangan di bawah Jembatan Sungai Bilah Rantauprapat yang terkenal di zaman dahulu merupakan rute yang setiap hari dilewati Silawan untuk mencari napkah.
Dikalangan pedagang pemuda ini cukup dikenal karena memiliki hati yang mulia. Kehidupannya yang setiap hari berlayar itu, membuatnya semakin dewasa dan memahami perjalanan di Sungai Bilah. Satu hari kemudian, Silawan yang sedang beristirahat di pinggir Sungai di Kampung Nelayan Negeri Lama tanpa sengaja melihat seorang gadis desa yang cantik bernama Marni.
Melihat gadis cantik yang sedang melintas itu, membuat hati Silawan berkeinginan untuk lebih mengenalnya. Karena hampir setiap malam ia terbayang dengan keindahan wajah serta kemolekan tubuh Marni.  Konon, ia sering tidak bisa nyeyak tidur karena hatinya  selalu terbayang dengan  gadis desa itu. Bahkan dia siap mempersunting mengingat umurnya juga sudah semakin dewasa. Setelah berlalu beberapa waktu, dia pun berusaha mendekati wanita desa itu melalui teman dekat Marni yang saat itu turut menemani gadis tersebut.
Kenekatan Silawan juga tidak perlu diragukan. Dari kehidupannya yang memiliki latar belakang keras itu, membuatnya lebih dewasa dari umurnya. Dia  nekat mendatangi secara langsung menyampaikan niatnya menikahi Marni kepada  kedua orang tua wanita yang tinggal tidak jauh dari lokasi pertemuan mereka. Padahal, cara seperti itu belum lazim dilakukan pemuda, kecuali harus terlebih dahulu mengutus keluarga atau orang tua untuk  mempersunting gadis pujaan pada masa itu.
Akhirnya, Silawan menyatakan perkenalan singkat dengan Marni membuatnya ingin mempersunting Marni menjadi istrinya. Ternyata, niat tersebut langsung mendapat sambutan hangat dari keluarga putri Melayu tersebut. Apalagi  Silawan, sudah tersohor namanya karena kegigihannya mengangkut dagangan saudagar hingga ke Kota Rantauprapat. Hanya berselang berapa hari kemudian, Silawan menikahi Marni tanpa diketahui oleh ibu sendiri yang sudah renta.
Setelah melakukan akad nikah, wanita yang taat kepada orang tua itu langsung dibawa Silawan mengarungi Sungai Bilah menuju kediaman ibunya di perkampungan Sampuran. Pasangan ini berlayar mengikuti alur ke hulu Sungai Bilah  yang dikawal beberapa orang pekerja yang selama ini taat dengan perintah Silawan. Sesampai di kediaman ibunya, istrinya dititipkan begitu saja di rumah orang tuanya. Dia tidak mau istri yang baru dinikahinya harus ikut setiap saat mengarungi Sungai.
Silawan kemudian berlayar menekuni profesinya sebagai pembawa barang dagangan. Hanya berselang satu tahun, Silawan menjadi menjadi orang terkaya di kampungnya. Kondisnya mulai berubah, kalau sebelumnya hanya mengangkut barang dagangan milik saudagar lain, kini dia sudah sebagai pemilik barang dagangan dan juga pengangkut barangannya sendiri.
Setelah itu, dia tidak lagi mau tinggal bersama ibunya. Dia malah memilih pindah ke kampung istrinya di Perkampungan Nelayan di Negeri Lama. Mereka menetap disini. Setiap hari pekerjaannya selalu membawa dagangan, sehingga tidak pernah singgah lagi untuk menjenguk ibunya yang hanya tinggal sendirian di Perkampungan Sampuran.
Begitulah hingga beberapa tahun kemudian lamanya, dia tak perduli lagi sama orang tuanya. Istrinya kemudian mengingatkann suaminya, agar sesekali sudi kiranya untuk menjenguk mertuanya yang sudah uzur. Berkali-kali Marni mengingatkan suaminya agar mereka berdua silaturahmi ke kediaman mertuanya.
Pendek cerita, Silawan tak mampu lagi menolak ajakan istrinya yang selalu dijawabnya, hanya nanti ke nanti. Merasa kesal dengan ajakan istrinya,  Silawan malah nekat mengatakan kalau ibunya sudah lama meninggal. Hal itu dianggapnya sebagai cara menghindari ajakan istrinya. Namun istrinya tetap mengajak suaminya meskipun hanya melihat kuburan mertuanya saja.
Akhirnya dia terpaksa mengikuti keinginan istrinya untuk mendatangi ibu kandungnya yang sudah tua renta itu. Mereka pun berlayar dari kampung Nelayan Negeri lama sampai ke Sampuran. Ternyata ibu Silawan sudah sangat rindu kepada anaknya. Hampir setiap hari ibu Silawan datang ke pinggir Sungai hanya untuk menunggu kedatangan anak semata wayangnya. Saat itulah, ibu Silawan datang seraya mengucapkan," Anakku, kenapa tidak pernah menjengukk ku lagi selama ini? Aku kan sudah semakin tua anakku," kata ibu Silawan sambil tersedu menangis dihadapan anak dan menantunya. Namun Silawan malah memberi jawaban diluar dugaan ibunya sendiri. "Aku tidak punya ibu seperti kau," kata Silawan. Dia merasa malu melihat ibunya yang sudah kondisinya tua.
Silawan kemudian tanpa ada rasa iba nekat menendang dan memukul wajah ibunya sendiri, seraya mengatakan, "Kau tidak seperti ibuku, " timpalnya. Melihat perlakuan yang tak sepantasnya itu, istri Silawan berusaha menghalangi aksi suaminya. Namun gagal, karena tenaga suaminya jauh lebih kuat.
"Kan sudah kubilang aku tidak punya orang tua seperti dia," kata Silawan kepada istrinya.
Mendengar ungkapan dari seorang anak yang keluar dari rahimnya sendiri,  membuat ibunya sedih dan menangis. "Kau adalah anak ku," ujar ibunya berkali-kali. Tetapi malah Silawan mengatakan kepada istrinya, jangan dengarkan nenek tua yang tak tau diri ini," ungkap Silawan dengan sinis.
Silawan kemudian, menyuruh pembantunya agar lebih cepat membongkar semua barang bawaan  yang ada di kapal itu. Karena dia sudah muak melihat kehadiran perempuan yang tua tersebut.
Melihat anaknya sudah mengingkari dirinya, ibu Silawan tidak sabar lagi dan sambil menangis terus menyumpahi anaknya berkali-kali. "Apabila kau berlayar, maka tidak akan selamat hidupmu dalam perjalanan. Aku menyumpah kau anak ku! Kau telah durhaka, mengingkari ibumu sendiri," kata ibunya dengan gemetar.
Lalu Silawan tak mau kalah. Dia malah menjawabnya dengan kata-kata, "Mau sumpah apapun, kau tetap bukan ibu ku. Ibu ku sudah lama meninggal. Tidak seburuk kau," hardik Silawan kepada ibunya sendiri.
Akibat situasi semakin memanas, rombongan Silawan pun bergegas mempersiapkan keberangkatan pulang menuju Negeri Lama. Semua rombongan naik ke atas kapal dan berlayar pulang. Meraka takut memberi nasehat kepada Silawan. Namun dalam perjalanan setengah hari di Kampung Tali, tiba-tiba hujan deras turun yang disertai gemuruh dan angin kencang bertiup. Kapal yang ditumpangi Silawan bersama istri dan rombongan mulai oleng dihantam badai. Silawan terus berupaya mengendalikan kapalnya agar tidak terbalik. Dia beranggapan itu hal biasa. Tetapi, justru kondisi itu tidak dapat dikendalikannya hingga akhirnya, kapal itupun terbalik dan perlahan-lahan mulai tenggelam berserta seluruh penumpangnya di Sungai Bilah.
Mendengar badai yang menenggelamkan kapal itu, beberapa hari kemudian warga berdatangan ke lokasi. Namun masyarakat merasa heran karena di lokasi terbaliknya kapal Silawan justru timbul batu melintang di Sungai Bilah. Air Sungai Bilah pun menjadi terbelah mengalir di sisi kiri dan kanan kapal yang menjadi batu besar itu, hingga menghantam pinggiran sungai. Timbulnya batu itu membuat warga heran dan takjub.
Incun menyatakan sesuai cerita dari tetua di Daerah Sungai Bilah, masyarakat mengetahui batu melintang adalah kapal yang ditumpangi Silawan bersama istri dan rombongan. Bahkan, batu yang hingga saat ini masih terbentang ditengah sungai itu,  juga diisebut sebahagian warga sebagai  Pulau Lawan, karena masyarakat mengetahui Silawan kena kutuk akibat kedurhakaannya kepada orang tuanya sendiri. Hingga saat ini batu melintang masih terdapat di Sungai Bilah. Akibatnya, sampan serta  speed boat milik warga yang melintas terpaksa lebih hati-hati di daerah itu. Karena kondisi sungai menjadi terbelah akibat batu melintang tersebut. ##

Minggu, 09 April 2017

Kampung Sejarah Asal Mula Nama Labuhanbatu yang Terabaikan

Catatan: Sartana Nasution 

Dusun Sungai Pinang (dahulu Kampung Labuhanbatu) yang berada tepatnya tidak jauh dari pinggir Sungai Barumun diyakini menyimpan sejarah asal muasal nama Labuhanbatu. Desa itu dahulu disebut Kampung Labuhanbatu tepatnya di seberang sungai Barumun. Namun kini Dusun yang memiliki sejarah bagi Nama Kabupaten Labuhanbatu, kondisinya masih cukup terisolasi tidak seperti perkembangan desa lainnya.
Begitu juga Desa Sei Siarti sebagai pintu masuk menuju kampung Labuhanbatu masih cukup sederhana. Uniknya,  meski dikelilingi perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta dan perkebunan milik pemerintah, justru udara gerah menyelimuti Desa Sei Siarti dan juga kampung Labuhanbatu itu. Suasana kesejukan alam pedesaan tidak terasa layaknya desa pada umumnya. 

Sementara, perjalanan menuju Desa Sei Siarti ini pun cukup memprihatikan. Karena tidak ditemukan infrastruktur jalan aspal melainkan jalan tanah liat ditengah perkebunan yang sangat luas. Sepanjang jalan, puluhan kilometer sejak dari Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Negeri Lama, hanya ada jalan perkebunan dengan timbunan tanah liat. Dan sedikit terdapat pengerasan badan jalan dari batu dan kerikil. Sehingga tak heran, jika hujan menerpa, jalananan itu bak kubangan kerbau. Dan bila musim panas, pengendera harus rela menghirup udara yang diselimuti debu yang beterbangan. 

Memang jalan menuju desa ini cukup sepi. Hanya Sesekali melintas kenderaan truk perkebunan dan kenderaan warga yang memiliki keperluan diluar desa tersebut. Tapi siapa sangka, di salah satu dusun yang cukup terisolasi tepatnya berada di seberang Sungai Barumun (dahulu Kampung Labuhanbatu) itu, menyimpang sejarah asal muasal nama Labuhanbatu. 

Terbentuknya nama daerah Kabupaten Labuhanbatu memiliki cerita panjang di masa lalu yang tidak banyak diketahui orang. Konon menurut sejumlah tetua di sana, asal mula nama Labubanbatu berawal dari  sebuah pelabuhan kecil di daerah mereka yang terbuat dari tumpukan bebatuan di  Dusun Sungai Pinang, Kampung Labuhanbatu Kecamatan Panai Tegah, Kabupaten Labuhanbatu.

Pelabuhan itu di sebut namanya Labuhanbatu karena memiliki pondasi yang terdiri dari tumpukan batu, kemudian dijadikan warga sebagai Pelabuhan untuk bersadarnya kapal-kapal milik warga. Dari dusun terpencil inilah diyakini warga sebagai awal mula terbentuknya nama besar Kabupaten Labuhanbatu. Perlahan-lahan, kemudian pelabuhan tradisional ini  menjadi salah satu daerah pengawasan Belanda. Termasuk memantau alur transportasi air disepanjang Sungai Barumun yang diawasi Belanda. Sedangkan di hilir Kampung Labuhanbatu Sungai Barumun itu, terdapat dua muara Sungai yaitu, Sungai Bilah dan Sungai Barumun. Kedua aliran sungai itu kemudian mengalir ke pesisir pantai Labuhan Bilik dan berujung ke Selat Malaka. Seperti diketahui, Selat Malaka merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk dimasa penjajahan Portugis dan Belanda hingga orang Belanda sering menelusuri aliran Sungai Barumun untuk mengawasi pergerakan masyarakat. 

Seiring waktu, pelabuhan tradisional yang terdapat tumpukan bebatuan itu cukup di kenal dan masyarakat yang menyebutnya sebagai "Labuhanbatu". Pelabuhan itu pun semakin tersohor dan menjadi salah satu lokasi transit yang sempat digunakan penjajah Belanda untuk mengambil upeti dari pedagang yang melintas mengangkut perdagangan melalui Sungai Barumun menuju perkampungan di daerah ini. Lama kelamaan pelabuhan yang terdapat tumpukan batu itu menjadi awal napak tilas terbentuknya asal nama besar Labuhanbatu. Belakangan menjadi nama Kabupaten Labuhanbatu.  Sayangnya tidak ada referensi yang jelas kapan digunakan pelabuhan itu sebagai jalur perdagangan di masa lalu.

"Dari cerita kakek kami tidak diketahui secara pasti tahun berapa persisnya Labuhanbatu itu mulai menjadi pelabuhan. Yang jelas cerita orang tua kami, asal mula nama Kabupaten Labuhanbatu itu berasal dari sini," kata Plt Kepala Desa Sei Siarti Muhammad Kenaikan Nasution saat menunjukkan lokasi Labuhanbatu yang kini sudah tidak memiliki jejak sebagai pelabuhan cukup tersohor di daerah itu.

Jika ditelusuri, Labuhanbatu Dusun Sungai Pinang, Kampung Labuhanbatu Kecamatan Panai Tegah itu tidak ada lagi jejak sebagai bukti sejarah adanya sebuah Pelabuhan disana. Kondisi banjir yang kerap melanda Sungai Barumun membuat bibir sungai itu tergerus sedikitnya 10 meter per tahun. Akibat itulah, kemudian penyebab hilangnya, jejak  pelabuhan tersebut di daerah ini pada masa lalu. Tetapi sekitar 500 meter dari lokasi pelabuhan Labuhanbatu itu, terdapat sebuah kuburan panjangnya mencapai 3 meter lebih. Konon disebut warga setempat merupakan perwira tentara Belanda yang bunuh diri.  Ironisnya, kedua lokasi itu tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Kini semak belukar mengelilingi kedua lokasi yang cukup bersejarah bagi nama besar awal terbentuknya Kabupaten Labuhanbatu tersebut. Bahkan akibat minimnya perhatian penerintah daerah untuk membangun fasilitas umum di perkampungan Labuhanbatu ini, warga tidak mampu bertahan disini. Kini mereka hanya tinggal sekitar 15 kk  yang dapat bertahan hidup disana dengan cara bertani. 

Betapa pentingnya nilai sejarah dalam perkembangan pradapan terbentuknya nama Kabupaten Labuhanbatu kesannya cukup terabaikan. Karena di sebuah dusun terpencil yang menjadi awal mula terbentuknya nama Labuhabatu itu, belum ditemukan adanya upaya penerintah untuk dapat menjadikan daerah ini yang memiliki sejarah penting bagi perkembangan nama Labuhanbatu. Padahal, tidak hanya untuk Kabupaten Labuhanbatu, tetapi juga nama itu akhirnya melekat juga kepada Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhambatu Selatan.  Ketiga kabupaten ini sebelum pemekaran terdiri dari satu wilayah yang sama, sehingga kata Labuhanbatu berawal dari dusun yang berada dari daerah yang berada diseberang Sungai Barumun itu. Itu makanya, daerah asal muasal Kabuhanbatu ini cukup penting artinya bagi sejarah Labuhanbatu Raya.
 
Salah seorang tokoh masyarakat dikampung Labuhanbatu (Dusun Sungai Pinang) Abdul Muis Hasibuan, (34) menceritakan, daerah mereka inilah asal mula nama Labuhanbatu yang kini sudah di mekarkan menjadi tiga Kabupaten.
"Dari sinilah asal mula Labuhanbatu. Ini sudah saya disampaikan kepada dinas Pariwisata Kabupaten  Labuhanbatu. Kami sampaikan juga, disini lah dulu ada pelabuhan dari susunan batu," ungkap.

Ia cukup menyayangkan sikap pemerintah daerah yang terlalu lambat merespons, jika daerah mereka memiliki sejarah terbentuknya nama Kabupaten Labuhanbatu. Justru menurut Abdul Muis Hasibuan, sampai saat ini tidak pernah ada perhatian pemerintah, sebab daerah itu dibiarkan tanpa memelihara jejak sejarah yang ada. Padahal, sudah seharusnya penerintah membuat miniatur pelabuhan di daerah itu. Tentu hal-hal itu dianggapnya dapat menggambarkan pelabuhan yang terbuat dari tumpukan batu di masa lalu. Jika tidak ada perhatian penerintah daerah, maka ia menilai pemerintah telah melupakan asal nama Labuhanbatu yang berasal dari daerah mereka.

Memang setiap sidang paripurna yang dilaksanakan 17 Agustus, di petikan naskah mengenang Kabupaten Labuhanbatu sering dibacakan secara administrasi pada mulanya Pemerintahan Wilayah Labuhanbatu adalah merupakan bagian dari wilayah Afdeling Asahan. Pada masa itu, Afdeling dipimpin oleh seorang Asisten Residen (Bupati). Sedangkan, Onder Afdeling dipimpin oleh seorang Controleur (Wedana). Controleur Labuhanbatu pertama kali berkedudukan di Kampun Labuhanbatu, kemudian tahun 1895 dipindahkan ke Labuhan Bilik, tahun 1924 dipindahkan ke Marbau. 
Selanjutnya, tahun 1928 dipindakan ke Aek Kota Batu dan pada tahun 1932 dipindahkan ke Rantauprapat sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, kedudukan Controleur tetap di Rantauprapat. Namun belum pernah ditelusuri ulang jejak sejarah asal nama Labuhanbatu. Jika pun terdapat simpang siur pendapat pemerintah daerah maka perlu dilakukan pencaarian jejak Labuhanbatu untuk mengetahui jejak yang sebenarnya Labuhanbatu berasal dari mana. 

Sukarno juga pernah berpesan Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat "Jasmerah". Itu merupakan semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Presiden Sukarno. Kiranya pencaharian sejarah nama Labuhambatu perlu dilakukan berbagai pihak agar generasi mendatang dapat mengetahui sejarah asal muasal Labuhanbatu yang sebenarnya.