Cerpen
Legeda Silawan Anak Durhaka
Dari Labuhanbatu
SARTANA NASUTION
Mendengar kisah Malin Kundang
tentunya akan teringat mengenai dongeng anak durhaka dari Sumatera Barat yang
sangat melegenda tersebut. Ternyata di Labuhanbatu, Sumatera Utara, ada cerita
mirip dengan kisah si Malin Kundang anak durhaka.
Namanya Silawan merupakan seorang anak yang memiliki karakter
pekerja keras yang tega melawan ibu kandungnya sehingga, ia dikutuk menjadi
batu bersama dengan sebuah perahu miliknya saat melintas di Sungai Bilah Kabupaten
Labuhanbatu.
Konon kapal yang ditumpanginya
diyakini sejumlah tetua kini telah menjadi batu melintang ditengah Sungai Bilah
tepatnya di Kampung Tali, Kecamatan Bilah Barat. Sungai yang dahulunya mengalir
lurus, akhirnya terpaksa berbelok kebagian kiri dan kanan batu yang melintang
ditegah sungai itu.
Menurut Ancun Rambe (44) seorang
seniman warga Kecamatan Bilah Barat, Kabupaten Labuhanbatu berdasarkan cerita
leluhur pada zaman dahulu ada seorang pemuda pekerja keras bernama Silawan yang
berasal dari perkampungan Sampuran. Kini daerah itu masuk kawasan Kecamatan
Bilah Barat, tepatnya di bagian hulu Sungai Bilah Kabupaten Labuhanbatu, Sumut.
Kisah Silawan ini cukup terkenal di
Labuhanbatu. Konon Pemuda yang lahir dari keluarga miskin ini sudah mulai
berlayar sejak usianya masih tergolong belia yaitu 12 tahun. Kehidupan yang
cukup keras itu pula menyebabkan dia dikenal dengan ketangguhannya melintasi
Sungai Bilah dengan perahu mulai dari hulu hingga kebagian hilir di kampung
Nelayan Negeri Lama. Hampir setiap hari anak semata wayang dari Sarila ini
melintasi Sungai Bilah membawa barang dagangan dengan menggunakan kapal
miliknya. Pelabuhan perdagangan di bawah Jembatan Sungai Bilah Rantauprapat
yang terkenal di zaman dahulu merupakan rute yang setiap hari dilewati Silawan
untuk mencari napkah.
Dikalangan pedagang pemuda ini cukup
dikenal karena memiliki hati yang mulia. Kehidupannya yang setiap hari berlayar
itu, membuatnya semakin dewasa dan memahami perjalanan di Sungai Bilah. Satu
hari kemudian, Silawan yang sedang beristirahat di pinggir Sungai di Kampung
Nelayan Negeri Lama tanpa sengaja melihat seorang gadis desa yang cantik
bernama Marni.
Melihat gadis cantik yang sedang
melintas itu, membuat hati Silawan berkeinginan untuk lebih mengenalnya. Karena
hampir setiap malam ia terbayang dengan keindahan wajah serta kemolekan tubuh
Marni. Konon, ia sering tidak bisa
nyeyak tidur karena hatinya selalu terbayang
dengan gadis desa itu. Bahkan dia siap
mempersunting mengingat umurnya juga sudah semakin dewasa. Setelah berlalu
beberapa waktu, dia pun berusaha mendekati wanita desa itu melalui teman dekat
Marni yang saat itu turut menemani gadis tersebut.
Kenekatan Silawan juga tidak perlu
diragukan. Dari kehidupannya yang memiliki latar belakang keras itu, membuatnya
lebih dewasa dari umurnya. Dia nekat mendatangi secara langsung
menyampaikan niatnya menikahi Marni kepada kedua orang tua wanita yang
tinggal tidak jauh dari lokasi pertemuan mereka. Padahal, cara seperti itu
belum lazim dilakukan pemuda, kecuali harus terlebih dahulu mengutus keluarga
atau orang tua untuk mempersunting gadis
pujaan pada masa itu.
Akhirnya, Silawan menyatakan
perkenalan singkat dengan Marni membuatnya ingin mempersunting Marni menjadi
istrinya. Ternyata, niat tersebut langsung mendapat sambutan hangat dari keluarga
putri Melayu tersebut. Apalagi Silawan,
sudah tersohor namanya karena kegigihannya mengangkut dagangan saudagar hingga
ke Kota Rantauprapat. Hanya berselang berapa hari kemudian, Silawan menikahi
Marni tanpa diketahui oleh ibu sendiri yang sudah renta.
Setelah melakukan akad nikah, wanita
yang taat kepada orang tua itu langsung dibawa Silawan mengarungi Sungai Bilah
menuju kediaman ibunya di perkampungan Sampuran. Pasangan ini berlayar
mengikuti alur ke hulu Sungai Bilah yang dikawal beberapa orang pekerja
yang selama ini taat dengan perintah Silawan. Sesampai di kediaman ibunya,
istrinya dititipkan begitu saja di rumah orang tuanya. Dia tidak mau istri yang
baru dinikahinya harus ikut setiap saat mengarungi Sungai.
Silawan kemudian berlayar menekuni
profesinya sebagai pembawa barang dagangan. Hanya berselang satu tahun, Silawan
menjadi menjadi orang terkaya di kampungnya. Kondisnya mulai berubah, kalau
sebelumnya hanya mengangkut barang dagangan milik saudagar lain, kini dia sudah
sebagai pemilik barang dagangan dan juga pengangkut barangannya sendiri.
Setelah itu, dia tidak lagi mau
tinggal bersama ibunya. Dia malah memilih pindah ke kampung istrinya di Perkampungan
Nelayan di Negeri Lama. Mereka menetap disini. Setiap hari pekerjaannya selalu
membawa dagangan, sehingga tidak pernah singgah lagi untuk menjenguk ibunya
yang hanya tinggal sendirian di Perkampungan Sampuran.
Begitulah hingga beberapa tahun
kemudian lamanya, dia tak perduli lagi sama orang tuanya. Istrinya kemudian
mengingatkann suaminya, agar sesekali sudi kiranya untuk menjenguk mertuanya
yang sudah uzur. Berkali-kali Marni mengingatkan suaminya agar mereka berdua
silaturahmi ke kediaman mertuanya.
Pendek cerita, Silawan tak mampu lagi
menolak ajakan istrinya yang selalu dijawabnya, hanya nanti ke nanti. Merasa kesal
dengan ajakan istrinya, Silawan malah nekat
mengatakan kalau ibunya sudah lama meninggal. Hal itu dianggapnya sebagai cara menghindari
ajakan istrinya. Namun istrinya tetap mengajak suaminya meskipun hanya melihat
kuburan mertuanya saja.
Akhirnya dia terpaksa mengikuti
keinginan istrinya untuk mendatangi ibu kandungnya yang sudah tua renta itu. Mereka
pun berlayar dari kampung Nelayan Negeri lama sampai ke Sampuran. Ternyata ibu
Silawan sudah sangat rindu kepada anaknya. Hampir setiap hari ibu Silawan
datang ke pinggir Sungai hanya untuk menunggu kedatangan anak semata wayangnya.
Saat itulah, ibu Silawan datang seraya mengucapkan," Anakku, kenapa tidak
pernah menjengukk ku lagi selama ini? Aku kan sudah semakin tua anakku,"
kata ibu Silawan sambil tersedu menangis dihadapan anak dan menantunya. Namun
Silawan malah memberi jawaban diluar dugaan ibunya sendiri. "Aku tidak
punya ibu seperti kau," kata Silawan. Dia merasa malu melihat ibunya yang
sudah kondisinya tua.
Silawan kemudian tanpa ada rasa iba
nekat menendang dan memukul wajah ibunya sendiri, seraya mengatakan, "Kau
tidak seperti ibuku, " timpalnya. Melihat perlakuan yang tak sepantasnya
itu, istri Silawan berusaha menghalangi aksi suaminya. Namun gagal, karena
tenaga suaminya jauh lebih kuat.
"Kan sudah kubilang aku tidak punya orang tua seperti
dia," kata Silawan kepada istrinya.
Mendengar ungkapan dari seorang anak yang keluar dari rahimnya sendiri, membuat ibunya sedih dan menangis. "Kau adalah anak ku," ujar ibunya berkali-kali. Tetapi malah Silawan mengatakan kepada istrinya, jangan dengarkan nenek tua yang tak tau diri ini," ungkap Silawan dengan sinis.
Mendengar ungkapan dari seorang anak yang keluar dari rahimnya sendiri, membuat ibunya sedih dan menangis. "Kau adalah anak ku," ujar ibunya berkali-kali. Tetapi malah Silawan mengatakan kepada istrinya, jangan dengarkan nenek tua yang tak tau diri ini," ungkap Silawan dengan sinis.
Silawan kemudian, menyuruh
pembantunya agar lebih cepat membongkar semua barang bawaan yang ada di
kapal itu. Karena dia sudah muak melihat kehadiran perempuan yang tua tersebut.
Melihat anaknya sudah mengingkari
dirinya, ibu Silawan tidak sabar lagi dan sambil menangis terus menyumpahi
anaknya berkali-kali. "Apabila kau berlayar, maka tidak akan selamat
hidupmu dalam perjalanan. Aku menyumpah kau anak ku! Kau telah durhaka,
mengingkari ibumu sendiri," kata ibunya dengan gemetar.
Lalu Silawan tak mau kalah. Dia malah
menjawabnya dengan kata-kata, "Mau sumpah apapun, kau tetap bukan ibu ku.
Ibu ku sudah lama meninggal. Tidak seburuk kau," hardik Silawan kepada
ibunya sendiri.
Akibat situasi semakin memanas,
rombongan Silawan pun bergegas mempersiapkan keberangkatan pulang menuju Negeri
Lama. Semua rombongan naik ke atas kapal dan berlayar pulang. Meraka takut
memberi nasehat kepada Silawan. Namun dalam perjalanan setengah hari di Kampung
Tali, tiba-tiba hujan deras turun yang disertai gemuruh dan angin kencang bertiup.
Kapal yang ditumpangi Silawan bersama istri dan rombongan mulai oleng dihantam
badai. Silawan terus berupaya mengendalikan kapalnya agar tidak terbalik. Dia beranggapan
itu hal biasa. Tetapi, justru kondisi itu tidak dapat dikendalikannya hingga
akhirnya, kapal itupun terbalik dan perlahan-lahan mulai tenggelam berserta
seluruh penumpangnya di Sungai Bilah.
Mendengar badai yang menenggelamkan
kapal itu, beberapa hari kemudian warga berdatangan ke lokasi. Namun masyarakat
merasa heran karena di lokasi terbaliknya kapal Silawan justru timbul batu
melintang di Sungai Bilah. Air Sungai Bilah pun menjadi terbelah mengalir di
sisi kiri dan kanan kapal yang menjadi batu besar itu, hingga menghantam
pinggiran sungai. Timbulnya batu itu membuat warga heran dan takjub.
Incun menyatakan sesuai cerita dari
tetua di Daerah Sungai Bilah, masyarakat mengetahui batu melintang adalah kapal
yang ditumpangi Silawan bersama istri dan rombongan. Bahkan, batu yang hingga
saat ini masih terbentang ditengah sungai itu, juga diisebut sebahagian warga sebagai Pulau Lawan, karena masyarakat mengetahui
Silawan kena kutuk akibat kedurhakaannya kepada orang tuanya sendiri. Hingga
saat ini batu melintang masih terdapat di Sungai Bilah. Akibatnya, sampan
serta speed boat milik warga yang melintas terpaksa lebih hati-hati di
daerah itu. Karena kondisi sungai menjadi terbelah akibat batu melintang
tersebut. ##
The Star Grand at The Star Grand at The Star Gold Coast
BalasHapusWith so 양산 출장샵 many games, one of the world's leading technology companies is now 안양 출장샵 preparing to build a 정읍 출장마사지 massive Grand Grand Hotel 군산 출장마사지 and Casino 강릉 출장샵 at The Star Gold Coast.