Catatan by: Sartana Nasution
Budaya pengajuan proposal telah biasa dilakukan, sehingga perlu juga disadari disekitar kehidupan kita ini budaya KKN telah mengakar. Tindak KKN tidak hanya dikuasai oleh orang-orang besar yang telah ahli di bidangnya. Namun ternyata, masyarakat kecil, bahkan mahasiswa, pelajar SMP, juga bisa menerapkan KKN.
Sebagai contoh kecil, mark up pada pembuatan proposal, dan laporan pertanggungjawaban dana lainnya sudah biasa kita mendengarnya. Mulai dari pelajar SMP membuat laporan keuangan yang nilainya dilebihkan. Dengan berbagai tujuan, seperti agar mendapatkan uang lebih dari kebutuhan, atau seandainya diberi uang lebih sedikit dari lembaga yang mereka mintai dana, itu nilainya masih di atas kebutuhan.
Ironisnya, sejumlah kalangan kerap menyuarakan masalah pemberantasan KKN, juga sering terlibat dalam pengajuan prosal ke sejumlah instansi. Mereka juga menyadari ketika mengajukan prosal permintaan mereka tidak sepenuhnya diberikan, misalnya, saat pencairan dana bantuan sosial dalam pertanggungjawaban dibuat 100 persen, tetapi yang sampai ketangan mereka hanya antar 30 sampai 40 persen, sedangkan sisanya nyangkut ditangan oknum tertentu. Mereka yang menyeruakan pemberantasan korupsi juga merasa nyaman, dengan situasi ini.
Disini sebenarnya saya kurang mengerti kenapa harus dilakukan mark up. Yang tampaknya semuanya mengisyaratkan bahwa mark up itu penting. Namun yang saya lihat, itu merupakan kebohongan dalam penyampaian nilai. Kalau mungkin lembaga yang kita mintai dana sering mengurangi dari apa yang kita tulis di proposal, itu mungkin karena lembaga tersebut juga mengetahui adanya permintaan dana yang berlebihan dari kebutuhan yang sesugguhnya. Ketakutan dari dua pihak ini juga yang mengakibatkan budaya mark up terus berjalan lancar.
Pernah saya meliput persoalan pengajuan proposan salah satu organisasi mahasiswa yang komlain. Karena menurut mahasiswa terjadi pemotongan yang dianggap cukup besar tergahadap realisasi proposal yang mereka ajukan. Persoalanya, pertanggungjawaban realiasasi dibuat oknum pejabat pemerintah daerah 100 persen, sedangkan yang diterima kalangan mahasiswa itu hanya sekitar 60 persen. Artinya, 40 persen tidak diberikan kepada mahasiswa.
Akhirnya mahasiswa melakukan aksi demontrasi untuk menyoroti kejanggalan ini. Padahal perlu diketahui, proposal yang diajukan mahasiswa juga tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dana yang sebenarnya alias sudah di mark up dari jumlah sesungguhnya.
Demikian sedikit pandangan saya yang menimbulkan keresahan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Mohon maaf bila ada yang tersinggung atau tersakiti dengan kata-kata saya. Saya juga manusia yang penuh kesalahan dan kesilafan.(*)
Budaya pengajuan proposal telah biasa dilakukan, sehingga perlu juga disadari disekitar kehidupan kita ini budaya KKN telah mengakar. Tindak KKN tidak hanya dikuasai oleh orang-orang besar yang telah ahli di bidangnya. Namun ternyata, masyarakat kecil, bahkan mahasiswa, pelajar SMP, juga bisa menerapkan KKN.
Sebagai contoh kecil, mark up pada pembuatan proposal, dan laporan pertanggungjawaban dana lainnya sudah biasa kita mendengarnya. Mulai dari pelajar SMP membuat laporan keuangan yang nilainya dilebihkan. Dengan berbagai tujuan, seperti agar mendapatkan uang lebih dari kebutuhan, atau seandainya diberi uang lebih sedikit dari lembaga yang mereka mintai dana, itu nilainya masih di atas kebutuhan.
Ironisnya, sejumlah kalangan kerap menyuarakan masalah pemberantasan KKN, juga sering terlibat dalam pengajuan prosal ke sejumlah instansi. Mereka juga menyadari ketika mengajukan prosal permintaan mereka tidak sepenuhnya diberikan, misalnya, saat pencairan dana bantuan sosial dalam pertanggungjawaban dibuat 100 persen, tetapi yang sampai ketangan mereka hanya antar 30 sampai 40 persen, sedangkan sisanya nyangkut ditangan oknum tertentu. Mereka yang menyeruakan pemberantasan korupsi juga merasa nyaman, dengan situasi ini.
Disini sebenarnya saya kurang mengerti kenapa harus dilakukan mark up. Yang tampaknya semuanya mengisyaratkan bahwa mark up itu penting. Namun yang saya lihat, itu merupakan kebohongan dalam penyampaian nilai. Kalau mungkin lembaga yang kita mintai dana sering mengurangi dari apa yang kita tulis di proposal, itu mungkin karena lembaga tersebut juga mengetahui adanya permintaan dana yang berlebihan dari kebutuhan yang sesugguhnya. Ketakutan dari dua pihak ini juga yang mengakibatkan budaya mark up terus berjalan lancar.
Pernah saya meliput persoalan pengajuan proposan salah satu organisasi mahasiswa yang komlain. Karena menurut mahasiswa terjadi pemotongan yang dianggap cukup besar tergahadap realisasi proposal yang mereka ajukan. Persoalanya, pertanggungjawaban realiasasi dibuat oknum pejabat pemerintah daerah 100 persen, sedangkan yang diterima kalangan mahasiswa itu hanya sekitar 60 persen. Artinya, 40 persen tidak diberikan kepada mahasiswa.
Akhirnya mahasiswa melakukan aksi demontrasi untuk menyoroti kejanggalan ini. Padahal perlu diketahui, proposal yang diajukan mahasiswa juga tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dana yang sebenarnya alias sudah di mark up dari jumlah sesungguhnya.
Demikian sedikit pandangan saya yang menimbulkan keresahan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Mohon maaf bila ada yang tersinggung atau tersakiti dengan kata-kata saya. Saya juga manusia yang penuh kesalahan dan kesilafan.(*)
Menyedihkan jika istilah "budaya" dilekatkan pada perilaku korup.
BalasHapusBudaya adalah produk manusia yang berasal dari akal budi dan memiliki keistimewaan, bukan sekadar kebiasaan.
http://heruls.net
iya, bung.... terkadang kita sdh terlalu kesal dengan prilaku sebahagaian koruptor itu...hehehehehe.....
BalasHapus